Tampilkan postingan dengan label Teori Karate. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Teori Karate. Tampilkan semua postingan

Selasa, 22 Desember 2009

Evolusi Karate




Karate sebagai seni bela diri adalah ungkapan klise yang telah kita ketahui. Namun seiring jaman yang berubah, karate juga berevolusi dalam fungsinya. Ketika diperkenalkan pertama kali di Okinawa fungsinya semula bela diri yang murni. Karena murni bela diri, maka membunuh dan terbunuh adalah lumrah. Pada masa itu karate sangat dirahasiakan, bahkan untuk membicarakan saja orang tidak berani. Walau Jepang sudah masuk masa Restorasi Meiji, budaya merahasiakan ini baru benar-benar berakhir tahun 1901. Ketika itu Itosu berhasil mengangkat karate ke permukaan dengan menunjukkan manfaat fisik dan mental dalam karate.

Evolusi berikutnya ketika karate masuk ke Jepang berubah menjadi seni bela diri dengan filsafat “jalan”. Konsep yang dipopulerkan oleh Funakoshi ini tidak hanya merubah ideogram karate, namun juga filosofinya. Karate berubah istilah menjadi karate-do bukan lagi karate jutsu. Hingga saat ini ada yang tetap memegang fungsi karate sebagai filosofi seperti Shotokai. Mereka dengan tegas menarik diri menggunakan karate untuk hal-hal yang berbau kompetisi.

Evolusi ketiga dari karate adalah pada era perang. Dimana saat Jepang menginvasi negara-negara Asia tahun (1930-1936) dan Perang Dunia II (1945-1949) karate digunakan sebagai materi wajib bagi prajurit. Karena digunakan untuk perang tentu ada perbedaan dengan latihan karate yang biasa. Seorang praktisi karate dibolehkan menyerang lawan sekuat-kuatnya. Alhasil, banyak prajurit yang cedera selama masa latihan itu. Barangkali ini adalah evolusi terburuk dalam sejarah karate.

Evolusi terakhir karate terjadi di masa moderen ini. Saat ini karate telah dipergunakan sebagai media kompetisi. Disini setiap aliran karate diijinkan mengikuti dua jenis turnamen yaitu kumite dan kata. Evolusi yang terakhir ini dipopulerkan pertama kali tahun 1957 dengan turnamen yang digelar oleh JKA (Japan Karate Association). Masatoshi Nakayama disebut-sebut sebagai orang yang bertanggung jawab (atau berjasa ?) memperkenalkan konsep ini. Anda juga bisa menengok pasal-pasal dalam WKF, disitu akan tertulis dengan jelas aturan pertandingan kata dan kumite. Mengisyaratkan bahwa induk organisasi karate dunia ini mendukung kompetisi dalam karate.

Bagaimana dengan image masyarakat Indonesia pada karate ? Ternyata mereka memandang karate sebagai “olah raga keras” bukan “seni bela diri keras”. Agaknya maraknya kompetisi karate yang sering digelar telah mengubah cara pandang masyarakat kita. Apalagi fakta didunia saat ini hampir seluruh organisasi (dari berbagai aliran) karate dengan terang-terangan menyatakan bahwa mereka mendukung karate sebagai olah raga yang bersifat kompetisi.

Setiap tahun di tanah air bila digelar even pertandingan pasti akan banyak sekali peserta baik dari anak-anak atau dewasa (jika umurnya masih memenuhi syarat), baik laki-laki atau perempuan. Apakah ini menyedihkan ? tentu saja tidak. Minimal yang menggembirakan ternyata minat masyarakat kepada karate yang telah diklaim sebagai “olah raga” keras ini masih besar. Tidak peduli mereka yang terjun di pertandingan itu menampilkan kualitas teknik yang baik atau buruk.

Bisa juga dibilang menyedihkan (Anda boleh tidak setuju), karena karate hanya akan menjadi milik mereka yang kuat, lincah, cepat dan berstamina prima. Funakoshi secara tegas melarang berbagai turnamen dan kompetisi. Dirinya sadar bahwa teknik karate sangat berbahaya walaupun digunakan dengan serangan yang lemah sekalipun. Funakoshi lebih memilih kata sebagai latihan inti dalam karate, karena baginya dalam kata tersembunyi rahasia karate. Anda mungkin tidak tahu kalau Funakoshi tidak pernah kalah dengan lawannya meskipun usianya telah lanjut. Funakoshi memiliki pertahanan yang kuat, dan ini hanya diketahui dari mereka yang pernah bertanding dengannya.

Tulisan ini tidak dibuat untuk memperdebatkan pendapat Funakoshi, apalagi sudah jelas Funakoshi memang orang yang tidak mendukung apapun yang berbau kompetisi karate. Juga tidak bermaksud menyalahkan praktisi karate yang berlatih hanya untuk motif kompetisi.. Meski harus diakui karate telah berevolusi fungsinya, jangan lupa bahwa karate adalah seni bela diri yang terhormat. Apapun motif Anda ketika memilih karate, ada rahasia yang tersembunyi didalamnya. Rahasia yang mustahil dicapai mereka yang hanya berpikir menang atau kalah. Rahasia yang hingga saat ini hanya sedikit saja orang yang berhasil mencapainya.

Antara Kobudo & Karate


Harus diakui bahwa Okinawa (Ryukyu) mempunyai keindahan baik alam dan budaya. Tidak mengherankan jika Okinawa menjadi aset unggulan Jepang yang terus dipelihara. Jika ingin berkunjung ke Jepang tidak salah jika Okinawa dijadikan prioritas. Sebagai tempat asal karate, Okinawa ternyata juga mempunyai sisi lain dalam dunia bela diri. Dari pulau kecil itu ternyata ada bela diri lain disamping karate yaitu kobudo (atau sebelumnya kobutsu). Kobudo berlawanan dengan karate karena menggunakan beragam senjata. Istilah “kobu” dapat ditafsirkan kuno atau lama. Tidak mengherankan karena kobudo memang mempunyai sejarah yang justru lebih tua daripada karate. Meskipun menyandang makna “kuno” bukan berarti kobudo ketinggalan jaman. Sebaliknya, kobudo tetap dipertahankan hingga kini sebagai warisan leluhur. Sayangnya sejarah pasti kobudo sulit diungkap karena banyak fakta yang hilang. Apalagi banyak dokumen yang berhubungan telah hancur dalam Perang Dunia II. Meskipun dari arti namanya saling bertolak belakang, antara kobudo dan karate ternyata masih berhubungan erat.

Sekitar abad ke-12 penguasa lokal yang disebut Aji menjalankan kekuasaannya dari benteng yang berdiri di atas tanah kekuasaan mereka (gusuku). Di kemudian hari pemerintahannya ternyata mengalami perpecahan hingga Ryukyu terbagi menjadi tiga kerajaan yang independen. Ketiganya ingin menunjukkan dominasinya dengan saling menyerang dan berusaha menaklukkan satu sama lain. Saat itu mereka menggunakan senjata dan bela diri meski dengan gaya teknik yang tidak sekompleks sekarang. Dalam persenjataan mereka telah menggunakan senjata tradisional seperti bo (tongkat) dan alat pertanian dari logam yang telah dimodifikasi.

Tahun 1429 Ryukyu memasuki pemerintahan Raja Sho Hashi dan mengalami perubahan besar. Raja Sho merasa bahwa perang lagi tidak berguna dan hanya berakibat perpecahan. Selanjutnya muncul inisiatif darinya untuk menyatukan ketiga kerajaan itu dalam satu pemerintahan yang independen (unifikasi). Tentu saja upaya itu tidak mudah karena Raja Sho harus memerangi kedua penguasa lainnya yang jelas-jelas menolak. Setelah berhasil mengalahkan kedua pesaingnya, Raja Sho akhirnya berhasil menyatukan seluruh wilayah Ryukyu. Setelah kekuasaan Raja Sho Hashi berakhir, cita-cita itu diteruskan oleh keturunannya yaitu Sho Shin. Sebagai dukungan unifikasi dibuatlah kebijakan anti perang berupa undang-undang. Pada pokoknya kebijakan itu melarang penduduk untuk menyimpan dan menggunakan senjata untuk perang. Sebagai realisasinya seluruh senjata kemudian disita dari penduduk setempat dan dikumpulkan di satu gudang yang konon bersebelahan dengan istana Shuri.

Berakhirnya perang dan adanya undang-undang membuat Ryukyu memasuki masa damai. Banyak penduduk yang kemudian beralih pekerjaan menjadi pedagang karena Dinasti Sho membuka pintu lebar-lebar untuk pendatang dari luar. Hasilnya terjadilah pertukaran kebudayaan yang dipercaya mempengaruhi cikal bakal kemunculan karate dan kobudo dengan teknik yang lebih sistematis. Karena menggunakan kapal sebagai media transportasi, penduduk Ryukyu harus mempersenjatai diri dari serangan perompak Jepang. Meski dilarang Dinasti Sho, banyak yang percaya bahwa kobudo sebenarnya masih dilatih meski tidak dalam dojo resmi. Pendapat itu berasal dari teknik dan senjata tradisional Cina yang kemudian diadaptasi oleh masyarakat setempat.

Sejarah mencatat perubahan besar dalam kobudo dan karate terjadi setelah Ryukyu dijajah oleh kelompok Satsuma tahun 1609. Akibat tidak mempunyai senjata yang memadai lagi, penduduk Ryukyu hanya mengandalkan peralatan seadanya yaitu alat pertanian dan tempurung kura-kura sebagai perisai. Tentu saja benda-benda itu tidak cukup melawan pasukan samurai berkuda yang dipersenjatai pedang. Akhirnya Ryukyu berhasil dikuasai samurai penjajah itu dan aturan larangan menggunakan senjata kembali dilanjutkan. Penduduk setempat kemudian mulai mengembangkan bela diri tangan kosong yang berguna sebagai upaya pertahanan diri. Sejak saat itulah awal karate sebagai bela diri alternatif mulai dikembangkan. Meski demikian seluruh latihan bela diri baik tangan kosong atau senjata sebenarnya masih dilatih meski rahasia. Selama 300 tahun penduduk Ryukyu masih mewariskan ke generasi berikutnya meski tanpa ada dokumen atau keterangan yang menjelaskannya.

Karate dan kobudo akhirnya berhasil muncul ke permukaan setelah Jepang memasuki Restorasi Meiji. Kedua bela diri itu akhirnya dimasukkan dalam salah satu pelajaran di sekolah. Pemerintah Ryukyu menganggapnya sebagai aset penting yang harus dipertahankan. Melalui latihan yang melelahkan, ternyata kedua bela diri tradisional itu mampu memberikan kontribusi besar baik fisik dan mental seseorang. Lebih jauh pemerintah Ryukyu yakin bahwa bela diri dapat membentuk karakter seseorang hingga mereka dapat memberikan tanggung jawab sosial yang baik. Tidak heran jika karate dan kobudo dianggap memberikan inspirasi besar ke seluruh dunia hingga kini.

Setelah Ryukyu menjadi bagian Jepang dan berganti nama menjadi Prefektur Okinawa, makin membuka jalan untuk karate dan kobudo memasuki Jepang. Hal itu baru terjadi setelah tahun 1917 pemerintah Jepang mengundang wakil Okinawa untuk memberikan sumbangan demonstrasi bela diri di Kyoto. Pemerintah Okinawa menanggapi hal itu dengan positif dan mencari orang terbaik untuk pantas sebagai wakilnya. Setelah melalui berbagai pertimbangan, ditunjuk dua orang dari disiplin bela diri yang berbeda, yaitu Gichin Funakoshi (karate) dan Shinko Matayoshi (kobudo). Funakoshi dipilih sebagai wakil karena selain mahir karate juga terpelajar. Sedangkan Matayoshi dipilih karena menguasai banyak teknik senjata hasil berlatih di Cina. Keduanya dianggap sebagai dua nama terbaik dalam bela diri Okinawa era moderen.

Shinko Matayoshi (1888-1947) dianggap sebagai salah satu nama terbaik dalam dunia kobudo Okinawa moderen. Matayoshi lahir di Naha dalam keluarga yang terpandang dan telah berlatih kobujutsu sejak usia remaja. Saat usianya menginjak 22 tahun, dirinya pergi ke Manchuria melalui utara Jepang dan bergabung dengan gerombolan penjahat berkuda hanya untuk belajar teknik senjata mereka. Hasilnya teknik berkuda dan memanah Matayoshi berbeda dengan gaya Okinawa umumnya. Setelah itu Matayoshi melanjutkan perjalanannya ke Fuchow dan Shanghai untuk belajar tinju Shaolin, akupuntur dan pengobatan herbal. Setelah belajar pada banyak ahli, Matayoshi kemudian menggabungkan seluruh teknik dan pengalamannya dalam satu silabus. Adalah Shinpo Matayoshi (1922-1997) yang kemudian mendirikan Zen Okinawa Kobudo Renmei tahun 1970. Organisasi ini dianggap sebagai salah satu organisasi pioner dalam kobudo Okinawa, karena bermaksud menyatukan seluruh praktisi kobudo dan menjaga tradisi di dalamnya.


Foto Funakoshi yang berlatih kobudo ini makin menegaskan bahwa dirinya juga menguasai tenik senjata disamping karate. Sayangnya teknik kobudo dari Funakoshi tidak banyak yang mempelajarinya.


Kobudo moderen menggunakan kuda-kuda dan pergerakan yang mirip dengan karate. Selain itu beberapa teknik kobudo juga ada dalam karate seperti tai sabaki (pergeseran badan), gerak tipu diikuti serangan dan gerakan menyerang bertahan yang bergantian. Kobudo juga menggunakan metode latihan satu macam senjata hingga berulang kali (bahkan ratusan hingga ribuan) sehingga mirip dengan latihan kihon atau kata dalam karate. Sebelum masuk ke Jepang kobudo hanya menggunakan senjata tradisional Okinawa dan beberapa diantaranya juga adaptasi dari Cina. Setelah kobudo diperkenalkan di Jepang beberapa senjata tradisional samurai seperti katana, naginata, yari (tombak), yumi dan ya (busur dan panah) juga dimasukkan. Agar tidak membingungkan, sistemnya kemudian disebut dengan Ryukyu Kobudo atau Okinawa Kobudo.

Saat ini kebanyakan aliran karate di Okinawa masih mempertahankan kobudo disamping latihan kihon, kumite dan kata. Diantaranya adalah Shorin-ryu yang menjadi salah satu gaya karate yang dipelajari Funakoshi. Sebaliknya, 4 besar karate Jepang (kecuali Shito-ryu) tampaknya sudah banyak yang meninggalkannya. Meski demikian, ada juga praktisi karate Jepang moderen yang berlatih kobudo meski hanya pilihan yang tidak wajib. Contohnya adalah Hirokazu Kanazawa (pendiri SKIF) yang mengajari senjata (semisal nunchaku) pada beberapa muridnya yang senior.

Misteri Tora no Maki


Selain berlatih karate pada Azato dan Itosu, Funakoshi juga belajar seni sastra pada gurunya ini. Tampaknya hal ini berpengaruh besar pada munculnya simbol harimau yang kemudian lazim dikenal dengan Tora no Maki yang digunakan oleh Shotokan dan Shotokai saat ini.

Ketika Funakoshi masih muda, dia gemar berjalan-jalan dalam kesunyian diantara pohon-pohon cemara yang mengelilingi rumahnya di Shuri, Okinawa. Setelah sehari yang berat diisi dengan mengajar di beberapa sekolah di daerahnya ditambah beberapa jam lebih diisi dengan latihan karate yang giat, dia kerap kali akan mendaki Gunung Torao dan kemudian bermeditasi diantara pepohonan cemara dibawah bintang-bintang dan bulan yang terang. Gunung Torao amatlah dekat, gunung ini ditumbuhi pepohonan hingga begitu lebatnya yang apabila diamati dari kejauhan menyerupai ekor seekor harimau. Dalam kenyataannya nama Torao memang berarti ekor harimau.

Pada waktu-waktu berikutnya, Funakoshi menerangkan bahwa angin dingin yang berdesir diantara pepohonan cemara di Gunung Torao membuat pohon-pohon tersebut bergerak seperti layaknya gelombang yang memecah di pantai. Demikianlah, sejak didapatkannya inspirasi itu dia memilih nama Shoto yang selalu dibubuhkannya sebagai tanda tangan di akhir karya tulisnya.

“Shoto” sebagai nama yang ditulis oleh Funakoshi memiliki arti pohon cemara yang bergerak laksana gelombang. Sedangkan “kan” berarti ruang atau balai utama (yang kemungkinan besar tempat murid-muridnya berlatih. Nama ini kemudian dianugerahkan oleh murid-muridnya sebagai penghormatan pada Funakoshi dengan ditulis pada papan nama dojo yang dibangun di Tokyo tahun 1936.

Munculnya simbol harimau yang dikerjakan oleh Hoan Kosugi ini tidak begitu jelas. Sumber pertama menyebutkan ketika Funakoshi berniat kembali ke Okinawa dirinya didatangi oleh Hoan Kosugi. Seorang pelukis ternama saat itu yang meminta pelajaran karate bagi dirinya dan teman-temannya di Kelompok Tabata. Perkumpulan ini adalah wadah berkumpulnya para seniman yang terbaik di masa itu. Kosugi meminta pelajaran dari Funakoshi karena saat itu dia tidak menemukan guru karate yang lebih pantas dari Funakoshi.

Ketika itu Funakoshi berniat menulis buku Ryukyu Kempo Karate, Kosugi mengatakan pada Funakoshi kalau dirinya bersedia melukis sampul depannya. Kosugi kemudian melukis gambar harimau yang disebutnya Tora no Maki. Di Jepang istilah Tora no Maki merupakan istilah resmi bagi karya tulis untuk suatu seni atau suatu sistem. Kosugi menjelaskan pada Funakoshi bahwa buku yang akan ditulisnya akan menjadi “Tora no Maki” nya karate. Dan sejak kata “tora” berarti harimau, Kosugi melukis gambar harimau sebagai simbolnya.

Sumber lain mengatakan kalau Kosugi sangat terkesan dengan latihan karate yang diterimanya dari Funakoshi. Kemudian ketika didengarnya Funakoshi akan menulis buku dengan segera dia mengusulkan diri untuk melukis sampulnya. Dikatakan bahwa Kosugi mengambil ide harimau karena menurut kepada filosofi tradisional Cina yang mempunyai makna bahwa ’’harimau tidak pernah tidur’’. Harimau mempunyai sifat yang tenang namun tetap waspada. Perasaan ini dirasakan oleh Kosugi ketika berlatih dibawah Funakoshi. Tampaknya makna ini dikemudian menjadi sangat populer.

Funakoshi sangat terkesan ketika diterimanya hasil karya Kosugi ini. Mengingatkannya akan kenangan masa mudanya ketika masih mendaki gunung Torao. Funakoshi berniat membayar hasil karya ini, namun Kosugi menolaknya. Kosugi hanya meminta Funakoshi mengajarinya karate berikut filosofi besar yang terkandung didalamnya. Terharu mendengar jawaban ini, Funakoshi menerima tawaran itu dan merekapun terus menjalin persahabatan baik.

Ada juga sumber yang mengatakan bahwa Funakoshi sendiri yang meminta pada Kosugi untuk melukis simbol harimau itu baginya. Setelah diketahuinya Kosugi adalah seorang pelukis yang pandai.

Tidak dapat dipastikan mana yang pasti dari kisah-kisah itu. Barangkali diantara kisah-kisah itu ada yang benar. Namun yang pasti Funakoshi kemudian menggunakan lukisan harimau itu sebagai sampul depan bukunya Ryukyu Kempo Karate yang terbit tahun 1922.

Setelah meninggalnya Funakoshi seluruh aset, dokumen berikut lukisan harimau diserahkan kepada Shigeru Egami oleh keluarga Funakoshi. Egami sendiri di kemudian hari tetap pada Shotokai sebagai organisasinya.