Suatu waktu pada sebuah kejuaraan Karate even FORKI daerah yang mempertandingkan nomor Kata perorangan, terjadi sebuah ‘keanehan’. Salah seorang atlet yang bertanding dinyatakan juri kalah dari lawannya, padahal atlet tersebut merasa penampilannya lebih bagus dari sang lawan, apalagi Kata yang dibawakan kategorinya lebih sulit.
Penonton yang melihat pertandingan itu pun bingung. Penilaian secara awam, memang atlet yang dikalahkan tadi penampilannya lebih baik. Segi penjiwaan bagus, ritme sesuai, power oke. Tapi kok bisa, sang lawan yang gerakannya tidak bisa dikatakan bagus, malah dimenangkan.
Usut punya usut, ternyata keputusan juri itu dikarenakan atlet dari aliran Shotokan yang kalah tadi membawakan Kata dari aliran Goju, sementara sang lawan yang juga dari Shotokan tetap membawakan Kata alirannya sendiri.
Apakah tidak boleh seorang atlet Kata membawakan Kata yang bukan dari alirannya sendiri? Rasanya aturan pertandingan tidak membatasi hal itu. Buktinya, di even nasional bertanding dengan membawakan Kata dari aliran lain sah-sah saja.
Memang bukan karena itu juri melakukan penilaian. Sebab saat pertemuan teknik (technical meeting) membawakan Kata dari aliran lain diperbolehkan. Lantas, apa sebabnya?
Juri tidak bisa menilai!
Ya, juri terpaksa memenangkan atlet yang membawakan Kata Shotokan karena untuk menilai Kata Goju (dan mungkin juga Shito, Wado) mereka tidak punya kemampuan alias tidak mengerti dengan Kata tersebut.
Lucu? Memang lucu!
Semestinya sebagai seorang wasit dan juri FORKI harus mengenal Kata aliran sendiri dan Kata aliran lain. Jelasnya, hapal dengan Kata aliran sendiri ditambah ‘paling tidak’ memiliki perbendaharaan dua atau empat Kata aliran lain. Kenyataannya pada kasus di atas, juri Kata tidak demikian.
Lucunya lagi, malah ada juri Kata yang minim perbendaharaan Kata alirannya sendiri. Sehingga pernah salah dalam menilai penampilan atlet dari aliran yang sama. Atlet tersebut gerakannya sudah betul, tapi dikalahkan karena dianggap ada gerakan yang keliru. Padahal sang juri sendiri yang tidak hapal dengan Kata tersebut.
Idealnya, seorang juri Kata harus hapal semua Kata di alirannya, bukannya cuma Kata dasar plus dua-tiga Kata di atasnya. Ya, jika ia dari aliran Shotokan sudah sepatutnya tahu dengan 26 Kata Shotokan! Bagaimana mau menilai, jika koleksi Kata di kepalanya hanya 50 persen, bahkan mungkin 10 persen!
Ujung-ujungnya, atlet dikecewakan. Jerih payah latihan (dengan motivasi yang tinggi, tanpa mempedulikan apakah prestasinya nanti berbuah rupiah atau penghargaan serta pekerjaan), kemudian berakhir dengan keputusan di atas matras yang tidak masuk akal!
Sebuah fenomena yang unik tapi ‘menarik’.
Namun jika kembali kepada khittah manusia, manusia tidak ada yang sempurna.
Ya, jika memplesetkan lagunya Band Seurieus; “…wasit-juri… juga.. manusia….”
Kita pun, bisa salah dan khilaf...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar