Artikel ini pernah dimuat dalam Harian Umum Sore Sinar Harapan edisi Jum'at 3 Januari 2003. Artikel tidak mengalami editing apapun dari INKAI MALUKU
Prof. Oishii dalam ceramahnya di Borobudur Camp tahun lalu dengan dibantu oleh Sabeth Muchsin (pendiri Inkai) dan isterinya yang asal Jepang mengalami kesulitan ketika mencari terjemahan yang pas untuk kata Budo. Memang tidak mudah. Karena tidak cukup dengan kata “Ilmu Bela Diri”. Sebab, budo adalah ilmu bela diri yang todome-waza. Dan keterangan tambahan itu pun harus ditambah lagi karena di sana ada arti pengendalian, daya tahan dan way of life. Gichin Funakoshi ketika menamakan ilmu bela dirinya dengan nama “Karate”, menjelaskan bahwa itu adalah perpaduan ilmu bela diri Okinawa dengan Budo-nya Jepang.
Penjelasan ini disampaikan untuk menuntaskan polemik yang menahun karena ada pihak-pihak yang keberatan dengan nama baru itu dan ingin bertahan dengan nama Tote. Maka penamaan karate dengan polemiknya, mengukuhkan bukti bahwa Funakoshi-lah sang originator karate itu. Jadi mustahil karate lahir di tempat lain dan dari pihak yang lain.
Melihat kenyataan bahwa karate sangat bermutu, Teino Heika atau Kaisar Jepang memutuskan untuk mendukung pelatihan Karate. Logislah kalau karate segera jadi populer. Maka ramai-ramailah orang ikut-ikutan memakai nama Karate untuk bela dirinya dengan – Karate ini, Karate itu dan sebagainya atau aliran ini dan aliran itu.
Funakoshi, sang originator, tidak menganggap adanya aliran dalam karate namun oleh “orang luar” disebut karate yang dipetekuninya disebut aliran shotokan. Kata shotokan itu sendiri berasal dari kata Shoto, yaitu nama julukan Funakoshi dan Kan berarti gedung atau hall. Buat yang mengerti artinya tentu lucu karena sepertinya ada juga karate aliran “Basket Hall” atau aliran “Istora”.Kehidupan Karate-nya Funakoshi lalu diteruskan oleh Nakayama yang membentuk “Japan Karate Association” (JKA) sebuah organisasi untuk Karate-ka. Menjadi lebih lucu lagi kalau disebutkan karate aliran JKA seperti tidak tahu arti kata-kata pada nama JKA.
Dari Karate ini Nakayama melahirkan olahraga pertandingan dengan peraturan-peraturan yang tetap menampung arti atau jiwa Budo tadi. Pertandingan “All Japan” untuk pertama kali diselenggarakan pada tahun 1957, pertandingan Exibishi Olympiade di Mexico tahun 1968 dan Kejuaraan Dunia petama di Tokyo tahun 1970. Karate pun jadi milik dunia. Persoalan baru pun datang mengiringinya. Ada karate yang tidak Todome-Waza, berarti tidak berjiwa Budo.
Suka atau tidak suka, Nakayama harus melihat kenyataan bahwa selain karatenya, ada lagi karate yang lain, yaitu, karate yang bukan karate karena tidak todome-waza. Walaupun bukan kehendaknya, dia harus menerima ketika sekarang karatenya disebut Traditional Karate atau Karate Tradisional. Dan Karate versi orang Eropa yang tidak Todome-Waza disebut General Karate, tapi tidak boleh diterjemahkan menjadi “Karate Jenderal” agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Tepat atau tidak tepat, banyak pihak menyebutnya “Karate Umum”. Dan seperti FIFA, Organisasi International Federation-nya (IF) Bola dan IBF. Adalah IF-nya bulu tangkis, untuk masing-masing Karate di atas juga punya IF yang berbeda.
Sekarang WKF atau eks-WUKO, IF-nya General Karate, dan ITKF adalah IF-nya Traditional Karate. Traditional Karate menghadapi masalah yang serius ketika tahun 1986 WUKO diakui Internasional Olympic Committe (IOC) walau keputusan itu kemudian dianggap sah dan dicabut tahun 1993.
Enam tahun masa pengakuan itu telah dipakai WUKO untuk “membunuh” Karate Tradisional di banyak negara. Khawatir bahwa karate yang karate, justru akan hilang dari muka bumi, maka pihak JKA pun sampai pada keinginan untuk mengelola JKA secara internasional.Kenyataannya, karate JKA ini sudah menjadi komoditi yang mahal. Di Amerika, terutama, banyak sekali yang memperdagangkan karate ini dengan membuka “Toko” (Dojo) Karate. Maka ada Doojoo dengan nama JKA Philadelphia, JKA New Orleans, JKA Chicago dan sebagainya.
Mitra JKA di Indonesia adalah INKAI, yang hubungannya dibentuk berdasarkan Technical Agreement. Dua mitra yang sederajat. Kita sangat keberatan INKAI disamakan dengan “Toko-toko Karate”, seperti JKA Chicago dan sebagainya itu.Tahun 1986, Nakayama mengundang Rapat Sihankai (Dewan Pelatih) seluruh dunia di Tokyo. Dari yang hadir, hanya ada dua orang yang bukan orang Jepang, yakni Sabeth Muchsin dan saya sendiri.
Nakayama menjelaskan maksudnya untuk mengoperasikan Institut Pendidikan Karate secara internasional dengan nama JKA. Dari Indonesia muncul sanggahan. Sabeth menjelaskan bahwa semangat untuk membawahi suatu bangsa oleh bangsa lain akan ditolak di negara-negara berkembang. Lalu dipikirkan membentuk sebuah institusi internasional sehingga tidak ada kesan menjajah. Ketika saya diperintah Nakayama menuliskan sebuah nama di papan tulis. Saya tulis The International Karate Institute. Masalahnya menjadi lucu ketika nama yang panjang itu bila disingkat ternyata menjadi INKAI. Rapat tidak mengambil keputusan apa-apa karena semua bisa menghargai argumentasi Sabeth.
Dijalankan Lagi
Sekarang ide orisinil yang semula dijalankan lagi. Di Amerika Okazaki tidak menemui kesukaran dalam mempimpin doojoo-doojoo (baca : “Toko”) JKA di seluruh Amerika. Tapi Omura yang bekerja di Bangkok dan didukung penuh oleh Tokyo, sulit sekali dalam mengoperasikan JKA se-Asia-Oceania. Negara-negara yang datang, hanya mengirimkan satu orang utusan.Berarti argumentasi Sabeth benar, negara-negara di kawasan ini yang mayoritas adalah negara-negara berkembang, tidak bisa menerima ide JKA ini. Indonesia pun diminta oleh JKA untuk mengambil alih pimpinan di Asia-Oceania itu. Tapi INKAI tetap pada pendirian bahwa bukan di situ masalahnya. Tidak ada niat untuk menjadi bawahan bangsa lain.
Sebagai individu, tidak ada salahnya untuk menjadi anggota JKA. Tentu dengan konsekuensi layaknya harus tunduk kepada organisasinya, tanpa harus merendahkan martabat bangsanya. Di Indonesia cukup banyak, mereka yang memenuhi syarat untuk itu, bahkan mereka yang diluar INKAI. Kiranya tidak salah, dibentuk semacam coordinative body untuk mereka yang ingin menjadi anggota JKA. Sebut saja Alumni Shotokan Indonesia menjadi AKSI. Yang ingin menjadi AKSI harus mempunyai ijazah dan nomor JKA.
AKSI tentu beda dengan FKTI yang adalah National Federation untuk cabang olahraga yang dinamakan Karate Tradisional. Kita tahu FKTI anggota dari ITKF. INKAI yang telah menamakan dirinya Perguruan Karate Tradisional, harus konsekuen untuk menampung semua karate tradisional yang tidak hanya JKA sumbernya. Dan memang sekarang INKAI mengajarkan ajaran-ajaran Goju-Ryu. Maka, mereka yang berlatih di INKAI mengenal juga “kata’ yang berasal dari sana. Sesuai dengan bidangnya, sebagai Institusi Pendidikan, INKAI terdaftar pada Depdiknas. Setahap demi setahap, terurailah benang kusut karate di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar